Kamis, 07 November 2013

Dampak ekonomi atas pelemahan nilai Rupiah

Pelemahan rupiah yang tak kunjung teratasi dinilai merupakan dampak dari lemahnya fundamental ekonomi Indonesia. Periode pelemahan rupiah ini pun dinilai sebagai ujian bagi fundamental ekonomi. Pelemahan rupiah ini semula diduga karena dampak perekonomian global dan tak terlepas dari kemungkinan dihentikannya stimulus Bank Sentral Amerika (The Fed). Namun, ketika Gubernur The Fed menyatakan bahwa stimulus masih diperlukan untuk ekonomi Amerika dan mata uang utama dan Asia cenderung menguat terhadap dollar AS, rupiah justru masih terus terpuruk. Tak peduli intervensi Bank Indonesia sudah menggerus cadangan devisa lebih dari 7 miliar dollar AS sepanjang 2013.
Apa dampak pelemahan Rupiah? Ketika nilai tukar sebuah mata uang melemah, maka yang biasanya mencolok terkena dampaknya adalah harga komoditi impor, baik yang menjadi obyek konsumsi maupun alat produksi (bahan baku dan barang modal). Karena harga komoditi impor dipatok dengan mata uang negara asal, maka jika nilai mata uang negara tujuan jatuh, harga komoditi impor akan naik. Misalnya, jika di Indonesia, nilai tukar Rupiah jatuh sebesar 10% dari 1 Dollar AS = 9.000 Rupiah menjadi 1 Dollar AS = 9.900 Rupiah, maka harga komoditi impor pun akan naik sebesar 10%. Komoditi yang harganya Rp1,5 juta akan naik Rp150ribu menjadi Rp1,65 juta.
pada bulan Agustus, inflasi turun menjadi 1,12 persen. Inflasi tahun kalender (Januari-Agustus) 2013 adalah 7,94 persen dan ini merupakan inflasi tahunan tertinggi sejak 2009. Untuk barang konsumsi, yang harganya akan naik bukan hanya barang-barang konsumsi impor, namun juga barang-barang konsumsi yang diproduksi di dalam negeri, tetapi (sebagian besar) alat-alat produksinya, terutama bahan bakunya, impor. Harga tahu tempe, misalnya, naik 20-25 persen, karena bahan bakunya berupa dikedelai diimpor.
kita bisa mendapat gambaran kasar tentang hal ini dari perbandingan antara impor barang konsumsi, bahan baku/penolong dan barang modal di Indonesia kita bisa menduga bahwa penggunaan alat-alat produksi impor dalam industri Indonesia cukup tinggi. 
Siapa saja yang akan terpukul oleh kenaikan harga komoditi impor ini?Pertama, konsumen, terutama konsumen kelas bawah, sejauh pendapatan mereka tidak bisa mengimbangi kenaikan harga barang. Kedua, pihak-pihak dalam rantai distribusi komoditi impor mulai dari importir sampai pengecer, karena mereka menghadapi pasar dalam negeri yang menyusut. Misalnya, belakangan ini, para importir bahan kebutuhan pokok di Batam sudah menghentikan aktivitas usahanya. Ketiga, para usahawan yang berorientasi pasar dalam negeri, namun alat-alat produksinya, terutama bahan bakunya, impor, seperti pengusaha tekstil, alas kaki, kemasan, dan sebagainya. Keempat, rakyat pekerja yang sudah terpukul dari sisi konsumsi akibat kenaikan harga barang, juga akan dijepit dari sisi upah oleh pengusaha yang terjepit oleh kenaikan harga alat-alat produksi impor, kenaikan nilai utang luar negeri (dibahas di bawah), dan penyusutan pasar dalam negeri.  Namun, anjloknya Rupiah bukan hanya berdampak pada kenaikan harga komoditi impor saja. Dampak lainnya yang juga penting adalah kenaikan nominal Rupiah dari utang luar negeri, karena utang luar negeri dipatok dengan mata uang asing. Logikanya sama dengan dampak pelemahan Rupiah pada komoditi impor. Jika di Indonesia, nilai tukar Rupiah berbanding Dollar AS jatuh sebesar 30%, maka nominal Rupiah dari utang yang dipatok dalam Dollar AS akan naik sebesar 30%. Sampai dengan Maret 2013, total utang luar negeri Indonesia adalah 254,295 miliar Dollar AS, dengan utang pemerintah dan bank sentral sebesar 124,151 miliar Dollar AS serta utang swasta sebesar 130,144 miliar Dollar AS.
 Apa dan siapa saja yang akan terpukul oleh kenaikan nominal Rupiah dari utang luar negeri Indonesia ini? Pertama, untuk utang swasta jelas pengusaha yang berutang, dan para pekerjanya yang akan ditekan oleh pengusaha yang berutang tersebut. Kedua, untuk utang pemerintah, yang akan terpukul adalah anggaran negara atau APBN, dimana ketika anggaran terjepit, rezim neoliberal biasanya akan mengurangi atau mencabut subsidi untuk rakyat, sehingga rakyat secara umum juga akan terkena dampaknya. Ketiga, pembayaran utang luar negeri cenderung akan meningkatkan penawaran atas Rupiah, karena uang Rupiah yang dimiliki pengutang harus ditukar dengan mata uang pembayaran utang. Akibatnya, nilai tukar Rupiah bisa semakin lemah. 
Lalu, siapa yang diuntungkan oleh krisis Rupiah? Jika mata uang suatu negara melemah, maka yang diuntungkan adalah sektor ekspor yang bahan bakunya (sebagian besar) berasal dari dalam negeri. Misalnya, PT Energizer Indonesia yang memproduksi baterai Eveready yang sebagian besarnya diekspor, eksportir udang, dan eksportir kakao di Sulawesi Selatan. Namun, ini tidak berarti seluruh sektor ekspor Indonesia untung, karena banyak komoditi ekspor kita yang ditopang oleh bahan baku impor, sehingga keuntungan yang didapat dari kenaikan harga barang ekspor itu “dibatalkan” oleh harga bahan baku impornya yang mahal.
Untuk menghindari keterpurukan ekonomi yang diakibatkan oleh lemahnya mata uang rupiah pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan penyelamatan ekonomi ini yakni:
1. Relaksasi pembatasan fasilitas kawasan berikat untuk penduduk 
2. Penghapusan pajak penghasilan (PPn) untuk buku .
3. Penghapusan pajak penghasilan barang mewah (PPn BM) untuk produk dasar yang sudah tidak tergolong barang mewah 
4. Pentingnya menjaga upah minimum provinsi (UMP) agar mencegah pemutusan hubungan kerja 
5. Pemberian skema kenaikan UMP mengacu pada kebutuhan hidup layak (KHL) 
6. Pemberian insentif untuk pengembangan dan riset (research and development) 
7. Mengoptimalkan penggunaan tax allowance untuk insentif investasi 
8. Menjaga daya beli masyarakat dengan menjaga tingkat inflasi 
9. Mengubah tata niaga daging sapi dan hortikultura dari berbasis kuantitas (kuota) menjadi berbasis harga 
10. Mempercepat investasi dengan menyederhanakan perizinan dan mengefektifkan layanan satu pintu 
11.  Mempercepat dan merampungkan Peraturan Presiden tentang Daftar Negatif Investasi (DNI) yang lebih ramah terhadap investor 
12. Mempercepat program investasi berbasis agro, CPO, kakao, rotan, mineral logam, bauksit dan tembaga dengan memberi insentif berupa tax holiday dan tax allowance 
13. Mempercepat proses penyelesaian investasi yang sudah ada misalnya pembangkit tenaga listrik, migas, pertambangan, mineral dan infrastruktur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar