Senin, 21 Oktober 2013

DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF MUNCULNYA MOBIL MURAH BAGI EKONOMI INDONESIA

pemerintah no.41/2013tentang barang kena pajak yang tergolong mewah berupa kendaraan bermotor yang dikenai pajak penjualan atas barang mewah yang resmi diterbitkan Rabu, juni 2013, pemerintahan sudah sewajarnya menjadi perumus kebijakan bagi kemakmuran masyarakat. Namun bagaimana jika sebuah kebijakan yang digulirkan justru menimbulkan kesan kontraproduktif? Baru-baru ini pemerintah merilis kebijakan terkait mobil murah. Pro kontra dari masyarakat pun berdatangan. Sedikit yang setuju namun banyak yang mengecam, namun kenapa masih digulirkan? Ini yang justru menimbulkan perdebatan menarik. Kebijakan mobil murah yang dikeluarkan pemerintah pusat, menimbulkan berbagai spekulasi yang harus dibaca secara secara intelektual. Pertama, apa dasar pemerintah mengeluarkan kebijakan mobil murah? Tak jelas. Salah satu alasan pemerintah adalah karena kepemilikan mobil adalah salah satu indikator kemakmuran masyarakat.
Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat menjelaskan secara alamiah memang kepemilikan mobil akan terus meningkat di Indonesia, karena hal ini merupakan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat. Bagaimana bisa seorang menteri bisa berbicara sedemikian rupa. Sejak kapan kepemilikan mobil menjadi indikator kemakmuran rakyat sementara angka kemiskinan di negeri ini masih melambung jauh? Di tengah kondisi ekonomi yang masih timpang, kebijakan mobil murah seakan menambah beban berat negara ini. Kondisi ekonomi dunia yang tengah mengalami masa krisis, posisi rupiah yang yang sangat lemah terhadap dollar, langkanya berbagai kebutuhan pokok seperti daging, kedelai dan bawang adalah indikator bahwa rakyat Indonesia masih jauh dari kata makmur. Berikut alasan mengapa kebijakan mobil murah tidak perlu digulirkan.
Program mobil murah berlabel low cost green car (LCGC) hanya akan mengukuhkan dominasi agen tunggal pemegang merk (ATPM) yang berkuasa saat ini. Pemerintah juga dinilai telah berperan sebagai predator yang memangsa bangsanya sendiri, dengan mengeluarkan kebijakan mobil murah. 
Padahal mobil itu pura-pura murah dan pura-pura ramah lingkungan. Demikian benang merah diskusi  tentang “Kontroversi Kebijakan Mobil Murah” di Jakarta, Kamis (26/9), dengan pembicara Anggota Komisi VI DPR Ri, Hendrawan Supratikno, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia (UI), Andrinof Chaniago, dan pengamat transportasi  Darmaningtiyas.  Menurut Hendrawan, dominasi ATPM incumbent tersebut akan muncul karena struktur pasar industri otomotif adalah struktur pasar oligopoli.
Artinya, struktur pasar yang pemainnya sedikit, namun menguasai pangsa pasar yang luas.
Tidak hanya itu, pihak ATPM yang dikuasai oleh Jepang juga akan menikmati insentif dari pemerintah,  karena komponen mobil murah tersebut juga didominasi oleh produk impor.
“Artinya pelaku yang paling siap untuk memamfaatkan insentif dalam program mobil murah tentu saja adalah pelaku yang selama ini sudah mendominasi pasar,” ujar Hendrawan.
Dengan demikian, ujarnya, momentum Indonesia untuk melaksanakan mobil murah dalam arti yang sesungguhnya menjadi hilang akibat dominasi tersebut. Hendrawan juga menyoroti kemacetan lalu lintas yang semakin parah akibat keberadaan mobil murah tersebut selain.  Menurutnya, dengan harga murah, maka permintaan akan melonjak sehingga kebijakan itu berujung pada degradasi mobilitas masyarakat.  Sementara itu, Andrinof mengatakan, dengan menghidupkan program mobil murah nasional,  pemerintah telah memainkan perannya sebagai predator yang memangsa bangsanya sendiri.  Dia mencontohkan, dengan membeli mobil murah maka masyarakat akan berhubungan dengan masalah pembiayaan.  Akibatnya, hak publik yang harusnya mendapatkan layanan transportasi murah akan dirampas kembali dan mereka berubah kembali menjadi sekedar konsumen.
Peneliti Transportasi Jalan Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan juga berpendapat tentang dampak mobil murah tersebut yaitu Nunuj Nurdjanah mengatakan, terlepas dari pro dan kontra dari berbagai pihak mengenai program LCGC (Low Cost Green Car/mobil murah ramah lingkungan), kita perlu melihatnya dari dua sisi yang mungkin timbul yaitu dampak positif dan negatifnya.
Menurut Nunuj, dampak positifnya yang mungkin disebutkan adalah penghasilan pajak negara dari otomotif akan bertambah, serta masyarakat golongan ekonomi menengah akan merasakan punya mobil baru  dengan harga terjangkau.  Selain itu, lanjutnya, sebagian pengguna sepeda motor mungkin akan berpindah pada mobil murah, mencegah masuknya mobil murah dari luar negeri atau negara tetangga seperti dari Thailand yang sudah terlebih dahulu memproduksi mobil murah.
"Sedangkan dampak negatifnya yang mungkin timbul adalah meningkatnya kepemilikan mobil pribadi. Tentunya dibarengi meningkatkan penggunaan mobil pribadi di jalan yang berakibat pada meningkatnya kepadatan lalu lintas, dan meningkatkanya konsumsiBBM, Belum lagi permasalahan lainnya seperti peminat angkutan umum akan semakin berkurang, dominasi angkutan pribadi pada angkutan lebaran akan semakin meningkat. "Bergulirnya program mobil murah ini dampaknya berantai, dan perlu upaya keras instansi terkait untuk meminimalisir dampak negatif tersebut," tuturnya.
Untuk itu, Kementerian terkait seperti Kementerian Perhubungan, Kementerian PU, Kementerian ESDM merupakan instansi pemerintah yang terkena imbasnya harus berupaya keras menanggulangi dampak negatif yang timbul dari program mobil murah ini.
Sedangkan instansi lainnya yang harus bekerja keras untuk menanggulangi dampak negatifnya adalah pemerintah daerah, khususnya di kota-kota besar.  Ada wacana kalau mobil murah ini akan didistribusi keluar jawa Namun, ia mengemukakan karena rancangan mobil murah itu adalah tipe 'city car', sehingga apabila didistribusikan ke luar Pulau Jawa-Bali seperti Kalimantan dan Papua, kondisi jalannya kurang memadai dan mempunyai medan yang sulit sehingga untuk mobil jenis 'city car' kemungkinan besar kurang laku.

Menurut Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) tentang mobil murah ini termasuk ancaman, ancaman tersebut kebijakan mobil murah bertolak belakang dengan upaya mengatasi kemacetan di DKI Jakarta. Salah satu langkah yang direkomendasikan pemerintah pusat adalah mengurangi jumlah mobil di DKI Jakarta.   
Persoalan yang menyelimuti kehadiran mobil murah sejatinya tak sekadar berkaitan dengan kemacetan Jakarta, tetapi juga berdampak serius terhadap gagasan mobil nasional (mobnas). Kehadiran mobil murah menjadi disinsentif pengembangan mobnas.   Mengapa demikian? Hadirnya mobil murah tak bisa dielakkan karena disokong pemerintah pusat, menyusul terbitnya PP 41/2013 yang mengatur tentang insentif pajak penjualan barang mewah (PPnBM) bagi  produksi mobil ramah lingkungan. 
Dengan peraturan itu, mobil dengan kapasitas mesin di bawah 1.200 cc dan konsumsi bahan bakar minyak minimal 20 km per liter, dapat dipasarkan tanpa PPnBM.   Tak ayal PP itu menuai kritik, karena dianggap membuat persoalan transportasi di banyak kota besar, terutama di Jawa, yang sudah rumit, bertambah amburadul. Pemerintah dituding tak serius membenahi sistem transportasi umum. Di sisi lain, PP itu juga dianggap semakin mematikan gagasan Indonesia memiliki mobnas. Sebab, pihak yang paling diuntungkan dengan beleid itu adalah industri otomotif asing yang sudah siap dengan teknologi ramah lingkungan.   Tak bisa dielakkan, muncul tudingan terbitnya PP tersebut merupakan lobi industri otomotif asing yang sudah menginvestasikan dana besar di Indonesia. Mereka pun sudah mengeluarkan investasi besar untuk riset teknologi ramah lingkungan. Konsekuensinya, hasil riset itu harus diproduksi secara massal dan dipasarkan. Indonesia, dengan populasi lebih dari 240 juta orang, merupakan pasar potensial.   
Kehadiran mobil murah tersebut, meskipun dibuat di Indonesia dan memiliki kandungan lokal yang tinggi, tidak bisa disebut mobnas. Sebab, prinsipalnya bukanlah pihak Indonesia. Dengan demikian, nilai tambah dari produksi mobil murah tersebut tetap saja mengalir ke negara asal prinsipal.   Padahal, sejak lama Indonesia berkeinginan memiliki industri otomotif berbasis mobnas, seperti yang dilakukan Malaysia dengan merek Proton, dan India dengan produk Tata. Mobnas yang sejati adalah produk otomotif yang murni karya anak bangsa, di mana paten atas mereknya dimiliki bangsa Indonesia. Tidak peduli berapa persen kandungan lokalnya, dan di negara mana diproduksi, selama menggunakan merek yang merupakan hak cipta milik bangsa Indonesia, itulah mobnas. Sayangnya, bertahun-tahun industri otomotif kita masih berbasis perakitan.   
Pemerintah terkesan tak pernah memberi insentif dan dorongan produksi mobnas. Padahal, sudah sekian banyak prototipe mobnas dihasilkan putra-putri Indonesia. Sebut saja Kancil, Marlip, Komodo, Perkasa, dan yang terakhir Esemka. Namun, nama-nama itu tak pernah ditemui di jalanan. Perkembangan mobnas seolah masih berkutat pada tahap pencarian jati diri dan pengakuan, akibat minimnya dukungan pemerintah, baik fiskal maupun nonfiskal. Padahal, banyaknya prototipe menunjukkan Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menghasilkan mobnas.   
Kehadiran mobil murah tak hanya menenggelamkan gagasan mobnas, tetapi juga makin menunjukkan karut marut pengelolaan sistem transportasi di kota besar. Pemerintah dikritik mengapa tidak memberi insentif secara maksimal pada pengadaan alat transportasi massal, seperti bus dan kereta api, termasuk insentif fiskal untuk suku cadangnya. Sebab, insentif ini berdampak langsung pada investasi dan biaya perawatan, yang oleh operator dibebankan kepada konsumen dalam bentuk tarif.   Insentif bagi mobil murah, menunjukkan pemerintah terjebak pada paradigma bahwa kepemilikan mobil merupakan indikator kemajuan sebuah negara. Paradigma itu salah. Justru sebaliknya, kemajuan sebuah negara atau kota, bukan karena orang miskin memiliki mobil, tetapi ketika orang kaya naik angkutan umum. Paradigma itulah yang dijadikan landasan bertindak mantan Wali Kota Bogota, Kolombia, Enrique Penalosa. Penalosa sukses membangun sistem transportasi massal berbasis bus, dan kini diadopsi di banyak kota, termasuk Jakarta.   
Mobil murah yang baru diluncurkan, dikhawatirkan akan semakin memperparah kemacetan lalu lintas di kota besar, khususnya Jakarta. Di saat sistem transportasi umum belum tertata baik, wajar jika masyarakat justru bertumpu pada mobil murah untuk mendukung mobilitasnya.   Harus disadari, persoalan mobilitas hanya dapat dipecahkan dengan transportasi publik, bukan menambah mobil. Oleh karenanya, harus ada keinginan politik yang kuat dari pemerintah untuk berpihak pada transportasi umum, dengan memberi insentif secara maksimal. Sejalan dengan itu, perlu juga insentif untuk mendorong tumbuh kembangnya industri otomotif berbasis mobnas, bukan sekadar menjadi tukang rakit mobil milik bangsa lain. 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar