Pelemahan rupiah yang tak kunjung
teratasi dinilai merupakan dampak dari lemahnya fundamental ekonomi Indonesia.
Periode pelemahan rupiah ini pun dinilai sebagai ujian bagi fundamental
ekonomi. Pelemahan rupiah ini semula diduga karena dampak perekonomian global
dan tak terlepas dari kemungkinan dihentikannya stimulus Bank Sentral Amerika
(The Fed). Namun, ketika Gubernur The Fed menyatakan bahwa stimulus masih
diperlukan untuk ekonomi Amerika dan mata uang utama dan Asia cenderung menguat
terhadap dollar AS, rupiah justru masih terus terpuruk. Tak peduli intervensi
Bank Indonesia sudah menggerus cadangan devisa lebih dari 7 miliar dollar AS
sepanjang 2013.
Apa dampak pelemahan Rupiah? Ketika
nilai tukar sebuah mata uang melemah, maka yang biasanya mencolok terkena
dampaknya adalah harga komoditi impor, baik yang menjadi obyek konsumsi maupun
alat produksi (bahan baku dan barang modal). Karena harga komoditi impor
dipatok dengan mata uang negara asal, maka jika nilai mata uang negara tujuan
jatuh, harga komoditi impor akan naik. Misalnya, jika di Indonesia, nilai tukar
Rupiah jatuh sebesar 10% dari 1 Dollar AS = 9.000 Rupiah menjadi 1 Dollar AS =
9.900 Rupiah, maka harga komoditi impor pun akan naik sebesar 10%. Komoditi
yang harganya Rp1,5 juta akan naik Rp150ribu menjadi Rp1,65 juta.
pada bulan Agustus, inflasi turun
menjadi 1,12 persen. Inflasi tahun kalender (Januari-Agustus) 2013 adalah 7,94
persen dan ini merupakan inflasi tahunan tertinggi sejak 2009. Untuk
barang konsumsi, yang harganya akan naik bukan hanya barang-barang konsumsi
impor, namun juga barang-barang konsumsi yang diproduksi di dalam negeri,
tetapi (sebagian besar) alat-alat produksinya, terutama bahan bakunya, impor.
Harga tahu tempe, misalnya, naik 20-25 persen, karena bahan bakunya berupa dikedelai
diimpor.
kita bisa mendapat gambaran kasar
tentang hal ini dari perbandingan antara impor barang konsumsi, bahan
baku/penolong dan barang modal di Indonesia kita bisa menduga bahwa penggunaan
alat-alat produksi impor dalam industri Indonesia cukup tinggi.
Siapa saja yang akan terpukul oleh
kenaikan harga komoditi impor ini?Pertama, konsumen, terutama konsumen kelas
bawah, sejauh pendapatan mereka tidak bisa mengimbangi kenaikan harga barang. Kedua,
pihak-pihak dalam rantai distribusi komoditi impor mulai dari importir sampai
pengecer, karena mereka menghadapi pasar dalam negeri yang menyusut. Misalnya,
belakangan ini, para importir bahan kebutuhan pokok di Batam sudah menghentikan
aktivitas usahanya. Ketiga, para usahawan yang berorientasi pasar dalam negeri,
namun alat-alat produksinya, terutama bahan bakunya, impor, seperti pengusaha
tekstil, alas kaki, kemasan, dan sebagainya. Keempat, rakyat pekerja yang sudah
terpukul dari sisi konsumsi akibat kenaikan harga barang, juga akan dijepit
dari sisi upah oleh pengusaha yang terjepit oleh kenaikan harga alat-alat produksi
impor, kenaikan nilai utang luar negeri (dibahas di bawah), dan penyusutan
pasar dalam negeri. Namun, anjloknya Rupiah bukan hanya berdampak pada
kenaikan harga komoditi impor saja. Dampak lainnya yang juga penting adalah
kenaikan nominal Rupiah dari utang luar negeri, karena utang luar negeri
dipatok dengan mata uang asing. Logikanya sama dengan dampak pelemahan Rupiah
pada komoditi impor. Jika di Indonesia, nilai tukar Rupiah berbanding Dollar AS
jatuh sebesar 30%, maka nominal Rupiah dari utang yang dipatok dalam Dollar AS
akan naik sebesar 30%. Sampai dengan Maret 2013, total utang luar negeri
Indonesia adalah 254,295 miliar Dollar AS, dengan utang pemerintah dan bank
sentral sebesar 124,151 miliar Dollar AS serta utang swasta sebesar 130,144
miliar Dollar AS.
Apa dan siapa saja yang akan terpukul oleh
kenaikan nominal Rupiah dari utang luar negeri Indonesia ini? Pertama,
untuk utang swasta jelas pengusaha yang berutang, dan para pekerjanya yang akan
ditekan oleh pengusaha yang berutang tersebut. Kedua, untuk utang pemerintah,
yang akan terpukul adalah anggaran negara atau APBN, dimana ketika anggaran
terjepit, rezim neoliberal biasanya akan mengurangi atau mencabut subsidi untuk
rakyat, sehingga rakyat secara umum juga akan terkena dampaknya. Ketiga,
pembayaran utang luar negeri cenderung akan meningkatkan penawaran atas Rupiah,
karena uang Rupiah yang dimiliki pengutang harus ditukar dengan mata uang
pembayaran utang. Akibatnya, nilai tukar Rupiah bisa semakin lemah.
Lalu, siapa yang diuntungkan oleh krisis Rupiah? Jika mata
uang suatu negara melemah, maka yang diuntungkan adalah sektor ekspor yang
bahan bakunya (sebagian besar) berasal dari dalam negeri. Misalnya, PT Energizer
Indonesia yang memproduksi baterai Eveready yang sebagian besarnya diekspor, eksportir
udang, dan eksportir kakao di Sulawesi Selatan. Namun, ini tidak berarti
seluruh sektor ekspor Indonesia untung, karena banyak komoditi ekspor kita yang
ditopang oleh bahan baku impor, sehingga keuntungan yang didapat dari kenaikan
harga barang ekspor itu “dibatalkan” oleh harga bahan baku impornya yang mahal.
Untuk menghindari keterpurukan
ekonomi yang diakibatkan oleh lemahnya mata uang rupiah pemerintah telah mengeluarkan
paket kebijakan penyelamatan ekonomi ini yakni:
1. Relaksasi pembatasan fasilitas kawasan berikat untuk
penduduk
2. Penghapusan pajak penghasilan (PPn) untuk buku .
3. Penghapusan pajak penghasilan barang mewah (PPn BM) untuk
produk dasar yang sudah tidak tergolong barang mewah
4. Pentingnya menjaga upah minimum provinsi (UMP) agar
mencegah pemutusan hubungan kerja
5. Pemberian skema kenaikan UMP mengacu pada kebutuhan hidup
layak (KHL)
6. Pemberian insentif untuk pengembangan dan riset (research
and development)
7. Mengoptimalkan penggunaan tax allowance untuk insentif
investasi
8. Menjaga daya beli masyarakat dengan menjaga tingkat
inflasi
9. Mengubah tata niaga daging sapi dan hortikultura dari
berbasis kuantitas (kuota) menjadi berbasis harga
10. Mempercepat investasi dengan menyederhanakan perizinan
dan mengefektifkan layanan satu pintu
11. Mempercepat dan merampungkan Peraturan Presiden
tentang Daftar Negatif Investasi (DNI) yang lebih ramah terhadap investor
12. Mempercepat program investasi berbasis agro, CPO, kakao,
rotan, mineral logam, bauksit dan tembaga dengan memberi insentif berupa tax
holiday dan tax allowance
13. Mempercepat proses penyelesaian investasi yang sudah ada
misalnya pembangkit tenaga listrik, migas, pertambangan, mineral dan
infrastruktur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar