pemerintah no.41/2013tentang barang kena pajak yang tergolong
mewah berupa kendaraan bermotor yang dikenai pajak penjualan atas barang mewah
yang resmi diterbitkan Rabu, juni 2013, pemerintahan sudah sewajarnya menjadi
perumus kebijakan bagi kemakmuran masyarakat. Namun bagaimana jika sebuah
kebijakan yang digulirkan justru menimbulkan kesan kontraproduktif? Baru-baru
ini pemerintah merilis kebijakan terkait mobil murah. Pro kontra dari
masyarakat pun berdatangan. Sedikit yang setuju namun banyak yang mengecam,
namun kenapa masih digulirkan? Ini yang justru menimbulkan perdebatan menarik.
Kebijakan mobil murah yang dikeluarkan pemerintah pusat, menimbulkan berbagai
spekulasi yang harus dibaca secara secara intelektual. Pertama, apa dasar
pemerintah mengeluarkan kebijakan mobil murah? Tak jelas. Salah satu alasan
pemerintah adalah karena kepemilikan mobil adalah salah satu indikator
kemakmuran masyarakat.
Menteri Perindustrian (Menperin) MS Hidayat menjelaskan
secara alamiah memang kepemilikan mobil akan terus meningkat di Indonesia,
karena hal ini merupakan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat.
Bagaimana bisa seorang menteri bisa berbicara sedemikian rupa. Sejak kapan
kepemilikan mobil menjadi indikator kemakmuran rakyat sementara angka
kemiskinan di negeri ini masih melambung jauh? Di tengah kondisi ekonomi yang
masih timpang, kebijakan mobil murah seakan menambah beban berat negara ini.
Kondisi ekonomi dunia yang tengah mengalami masa krisis, posisi rupiah yang
yang sangat lemah terhadap dollar, langkanya berbagai kebutuhan pokok seperti
daging, kedelai dan bawang adalah indikator bahwa rakyat Indonesia masih jauh
dari kata makmur. Berikut alasan mengapa kebijakan mobil murah tidak perlu
digulirkan.
Program mobil murah berlabel low cost green car (LCGC)
hanya akan mengukuhkan dominasi agen tunggal pemegang merk (ATPM) yang berkuasa
saat ini. Pemerintah juga dinilai telah berperan sebagai predator yang
memangsa bangsanya sendiri, dengan mengeluarkan kebijakan mobil murah.
Padahal mobil itu pura-pura murah dan pura-pura ramah
lingkungan. Demikian benang merah diskusi tentang “Kontroversi Kebijakan
Mobil Murah” di Jakarta, Kamis (26/9), dengan pembicara Anggota Komisi VI DPR
Ri, Hendrawan Supratikno, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia
(UI), Andrinof Chaniago, dan pengamat transportasi Darmaningtiyas.
Menurut Hendrawan, dominasi ATPM incumbent tersebut akan muncul
karena struktur pasar industri otomotif adalah struktur pasar oligopoli.
Artinya, struktur pasar yang pemainnya sedikit, namun menguasai pangsa pasar yang luas.
Tidak hanya itu, pihak ATPM yang dikuasai oleh Jepang juga akan menikmati insentif dari pemerintah, karena komponen mobil murah tersebut juga didominasi oleh produk impor.
“Artinya pelaku yang paling siap untuk memamfaatkan insentif dalam program mobil murah tentu saja adalah pelaku yang selama ini sudah mendominasi pasar,” ujar Hendrawan.
Dengan demikian, ujarnya, momentum Indonesia untuk melaksanakan mobil murah dalam arti yang sesungguhnya menjadi hilang akibat dominasi tersebut. Hendrawan juga menyoroti kemacetan lalu lintas yang semakin parah akibat keberadaan mobil murah tersebut selain. Menurutnya, dengan harga murah, maka permintaan akan melonjak sehingga kebijakan itu berujung pada degradasi mobilitas masyarakat. Sementara itu, Andrinof mengatakan, dengan menghidupkan program mobil murah nasional, pemerintah telah memainkan perannya sebagai predator yang memangsa bangsanya sendiri. Dia mencontohkan, dengan membeli mobil murah maka masyarakat akan berhubungan dengan masalah pembiayaan. Akibatnya, hak publik yang harusnya mendapatkan layanan transportasi murah akan dirampas kembali dan mereka berubah kembali menjadi sekedar konsumen.
Artinya, struktur pasar yang pemainnya sedikit, namun menguasai pangsa pasar yang luas.
Tidak hanya itu, pihak ATPM yang dikuasai oleh Jepang juga akan menikmati insentif dari pemerintah, karena komponen mobil murah tersebut juga didominasi oleh produk impor.
“Artinya pelaku yang paling siap untuk memamfaatkan insentif dalam program mobil murah tentu saja adalah pelaku yang selama ini sudah mendominasi pasar,” ujar Hendrawan.
Dengan demikian, ujarnya, momentum Indonesia untuk melaksanakan mobil murah dalam arti yang sesungguhnya menjadi hilang akibat dominasi tersebut. Hendrawan juga menyoroti kemacetan lalu lintas yang semakin parah akibat keberadaan mobil murah tersebut selain. Menurutnya, dengan harga murah, maka permintaan akan melonjak sehingga kebijakan itu berujung pada degradasi mobilitas masyarakat. Sementara itu, Andrinof mengatakan, dengan menghidupkan program mobil murah nasional, pemerintah telah memainkan perannya sebagai predator yang memangsa bangsanya sendiri. Dia mencontohkan, dengan membeli mobil murah maka masyarakat akan berhubungan dengan masalah pembiayaan. Akibatnya, hak publik yang harusnya mendapatkan layanan transportasi murah akan dirampas kembali dan mereka berubah kembali menjadi sekedar konsumen.
Peneliti Transportasi Jalan Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Perhubungan juga berpendapat tentang dampak mobil murah tersebut
yaitu Nunuj Nurdjanah mengatakan, terlepas dari pro dan kontra dari berbagai
pihak mengenai program LCGC (Low Cost Green Car/mobil murah ramah lingkungan),
kita perlu melihatnya dari dua sisi yang mungkin timbul yaitu dampak positif
dan negatifnya.
Menurut Nunuj, dampak positifnya yang mungkin disebutkan
adalah penghasilan pajak negara dari otomotif akan bertambah, serta masyarakat
golongan ekonomi menengah akan merasakan punya mobil baru dengan harga terjangkau. Selain itu, lanjutnya, sebagian pengguna
sepeda motor mungkin akan berpindah pada mobil murah, mencegah masuknya mobil
murah dari luar negeri atau negara tetangga seperti dari Thailand yang sudah
terlebih dahulu memproduksi mobil murah.
"Sedangkan dampak negatifnya yang mungkin timbul adalah
meningkatnya kepemilikan mobil pribadi. Tentunya dibarengi meningkatkan
penggunaan mobil pribadi di jalan yang berakibat pada meningkatnya kepadatan lalu
lintas, dan meningkatkanya konsumsiBBM, Belum lagi permasalahan lainnya seperti
peminat angkutan umum akan semakin berkurang, dominasi angkutan pribadi pada
angkutan lebaran akan semakin meningkat. "Bergulirnya program mobil murah
ini dampaknya berantai, dan perlu upaya keras instansi terkait untuk
meminimalisir dampak negatif tersebut," tuturnya.
Untuk itu, Kementerian terkait seperti Kementerian
Perhubungan, Kementerian PU, Kementerian ESDM merupakan instansi pemerintah
yang terkena imbasnya harus berupaya keras menanggulangi dampak negatif yang
timbul dari program mobil murah ini.
Sedangkan instansi lainnya yang harus bekerja keras untuk menanggulangi dampak negatifnya adalah pemerintah daerah, khususnya di kota-kota besar. Ada wacana kalau mobil murah ini akan didistribusi keluar jawa Namun, ia mengemukakan karena rancangan mobil murah itu adalah tipe 'city car', sehingga apabila didistribusikan ke luar Pulau Jawa-Bali seperti Kalimantan dan Papua, kondisi jalannya kurang memadai dan mempunyai medan yang sulit sehingga untuk mobil jenis 'city car' kemungkinan besar kurang laku.
Sedangkan instansi lainnya yang harus bekerja keras untuk menanggulangi dampak negatifnya adalah pemerintah daerah, khususnya di kota-kota besar. Ada wacana kalau mobil murah ini akan didistribusi keluar jawa Namun, ia mengemukakan karena rancangan mobil murah itu adalah tipe 'city car', sehingga apabila didistribusikan ke luar Pulau Jawa-Bali seperti Kalimantan dan Papua, kondisi jalannya kurang memadai dan mempunyai medan yang sulit sehingga untuk mobil jenis 'city car' kemungkinan besar kurang laku.
Menurut Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) tentang
mobil murah ini termasuk ancaman, ancaman tersebut kebijakan mobil murah
bertolak belakang dengan upaya mengatasi kemacetan di DKI Jakarta. Salah satu
langkah yang direkomendasikan pemerintah pusat adalah mengurangi jumlah mobil
di DKI Jakarta.
Persoalan yang menyelimuti kehadiran mobil murah sejatinya
tak sekadar berkaitan dengan kemacetan Jakarta, tetapi juga berdampak serius
terhadap gagasan mobil nasional (mobnas). Kehadiran mobil murah menjadi
disinsentif pengembangan mobnas. Mengapa demikian? Hadirnya mobil murah
tak bisa dielakkan karena disokong pemerintah pusat, menyusul terbitnya PP
41/2013 yang mengatur tentang insentif pajak penjualan barang mewah (PPnBM)
bagi produksi mobil ramah lingkungan.
Dengan peraturan itu, mobil dengan kapasitas mesin di bawah
1.200 cc dan konsumsi bahan bakar minyak minimal 20 km per liter, dapat
dipasarkan tanpa PPnBM. Tak ayal PP itu menuai kritik, karena dianggap
membuat persoalan transportasi di banyak kota besar, terutama di Jawa, yang
sudah rumit, bertambah amburadul. Pemerintah dituding tak serius membenahi
sistem transportasi umum. Di sisi lain, PP itu juga dianggap semakin mematikan
gagasan Indonesia memiliki mobnas. Sebab, pihak yang paling diuntungkan dengan
beleid itu adalah industri otomotif asing yang sudah siap dengan teknologi
ramah lingkungan. Tak bisa dielakkan, muncul tudingan terbitnya PP
tersebut merupakan lobi industri otomotif asing yang sudah menginvestasikan
dana besar di Indonesia. Mereka pun sudah mengeluarkan investasi besar untuk
riset teknologi ramah lingkungan. Konsekuensinya, hasil riset itu harus
diproduksi secara massal dan dipasarkan. Indonesia, dengan populasi lebih dari
240 juta orang, merupakan pasar potensial.
Kehadiran mobil murah tersebut, meskipun dibuat di Indonesia
dan memiliki kandungan lokal yang tinggi, tidak bisa disebut mobnas. Sebab,
prinsipalnya bukanlah pihak Indonesia. Dengan demikian, nilai tambah dari
produksi mobil murah tersebut tetap saja mengalir ke negara asal prinsipal.
Padahal, sejak lama Indonesia berkeinginan memiliki industri
otomotif berbasis mobnas, seperti yang dilakukan Malaysia dengan merek Proton,
dan India dengan produk Tata. Mobnas yang sejati adalah produk otomotif yang
murni karya anak bangsa, di mana paten atas mereknya dimiliki bangsa Indonesia.
Tidak peduli berapa persen kandungan lokalnya, dan di negara mana diproduksi,
selama menggunakan merek yang merupakan hak cipta milik bangsa Indonesia,
itulah mobnas. Sayangnya, bertahun-tahun industri otomotif kita masih berbasis
perakitan.
Pemerintah terkesan tak pernah memberi insentif dan dorongan
produksi mobnas. Padahal, sudah sekian banyak prototipe mobnas dihasilkan
putra-putri Indonesia. Sebut saja Kancil, Marlip, Komodo, Perkasa, dan yang
terakhir Esemka. Namun, nama-nama itu tak pernah ditemui di jalanan.
Perkembangan mobnas seolah masih berkutat pada tahap pencarian jati diri dan
pengakuan, akibat minimnya dukungan pemerintah, baik fiskal maupun nonfiskal.
Padahal, banyaknya prototipe menunjukkan Indonesia memiliki potensi yang sangat
besar untuk menghasilkan mobnas.
Kehadiran mobil
murah tak hanya menenggelamkan gagasan mobnas, tetapi juga makin menunjukkan
karut marut pengelolaan sistem transportasi di kota besar. Pemerintah dikritik
mengapa tidak memberi insentif secara maksimal pada pengadaan alat transportasi
massal, seperti bus dan kereta api, termasuk insentif fiskal untuk suku
cadangnya. Sebab, insentif ini berdampak langsung pada investasi dan biaya
perawatan, yang oleh operator dibebankan kepada konsumen dalam bentuk tarif.
Insentif bagi mobil murah, menunjukkan pemerintah terjebak pada
paradigma bahwa kepemilikan mobil merupakan indikator kemajuan sebuah negara.
Paradigma itu salah. Justru sebaliknya, kemajuan sebuah negara atau kota, bukan
karena orang miskin memiliki mobil, tetapi ketika orang kaya naik angkutan umum.
Paradigma itulah yang dijadikan landasan bertindak mantan Wali Kota Bogota,
Kolombia, Enrique Penalosa. Penalosa sukses membangun sistem transportasi
massal berbasis bus, dan kini diadopsi di banyak kota, termasuk Jakarta.
Mobil murah yang baru diluncurkan, dikhawatirkan akan semakin
memperparah kemacetan lalu lintas di kota besar, khususnya Jakarta. Di saat
sistem transportasi umum belum tertata baik, wajar jika masyarakat justru
bertumpu pada mobil murah untuk mendukung mobilitasnya. Harus
disadari, persoalan mobilitas hanya dapat dipecahkan dengan transportasi
publik, bukan menambah mobil. Oleh karenanya, harus ada keinginan politik yang
kuat dari pemerintah untuk berpihak pada transportasi umum, dengan memberi
insentif secara maksimal. Sejalan dengan itu, perlu juga insentif untuk
mendorong tumbuh kembangnya industri otomotif berbasis mobnas, bukan sekadar
menjadi tukang rakit mobil milik bangsa lain.
http://www.suarapembaruan.com/home/kebijakan-mobil-murah-sudah-menyimpang/42496
http://www.suarapembaruan.com/tajukrencana/ancaman-mobil-murah/42570
http://www.suarapembaruan.com/tajukrencana/ancaman-mobil-murah/42570
Tidak ada komentar:
Posting Komentar