Pemerintah mengklaim ada dampak positif dengan menjadi tuan
rumah Miss World 2013. Penyelenggaraan Miss World sekaligus mempromosikan
budaya dan obyek wisata Indonesia ke dunia internasional.
"Tentu ada yang positif karena tidak hanya
memperkenalkan Indonesia kepada 130 negara, namun akan ada cerita soal
Indonesia," kata Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sapta
Nirwandar di kediaman Wakil Presiden Boediono, Jakarta, Sabtu (7/9/2013).
Menurut Sapta, setiap peserta kontes Miss World nantinya akan
lebih mengenal Indonesia. Bukan hanya itu, para peserta pun diharapkan dapat
membawa cerita keindahan alam dan budaya Indonesia ke negaranya. Dengan
demikian, menurut Sapta, Indonesia semakin dikenal luas di dunia Internasional.
"Kekayaan alam, dan budaya kita
diperkenalkan. Tari Bali, Bali, Borobudur, itu positif dari sisi budaya.
Demikian juga dengan cara-cara komunikasi di Indonesia," ucap Sapta. Selama mengikuti kontes Miss World, katanya,
para peserta dari 130 negara berbeda tersebut akan diajak mengunjungi
obyek-obyek wisata di Indonesia. Hal itu ditujukan untuk mempromosikan wisata
Tanah Air. Kehadiran jurnalis mancanegara, kata dia, dapat mewartawan wisata
Indonesia ke negara mereka masing-masing. Dengan begitu, diharapkan dapat
memunculkan rasa penasaran orang lain untuk mengunjungi Indonesia dan
menyaksikan kekayaan alam dan budayanya secara langsung. "Ini kan akan
memberikan dampak postif seperti juga orang datang nonton bola kaki dan lainnya
kan mereka jg punya kenangan," ujar Sapta.
Sebelumnya, Sapta mendampingi Menteri Koordinator
Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono bersama Kepala Kepolisian RI Jenderal (Pol)
Timur Pradopo menggelar jumpa pers terkait penyelenggaraan Miss World 2013 di
Indonesia. Dalam jumpa pers tersebut, Agung mengatakan bahwa pemerintah
mendukung penyelenggaran Miss World 2013. Hanya saja, pemerintah menekankan
agar pelaksanaan Miss World 2013 dipusatkan di Bali. Keputusan ini diambil
setelah Pemerintah mempertimbangkan aspirasi masyarakat yang berkembang selama
ini. Pemerintah juga meminta agar peserta Miss World nantinya tidak mengenakan
bikini atau pakaian lain yang dianggap tidak sesuai dengan budaya Indonesia.
Sebagai gantinya, para peserta akan mengenakan pakaian nasional Indonesia.
Media juga tidak mau ketinggalan mengambil peran publikasi di
dalamnya. Akan tetapi, penyelenggaraan acara itu perlu kita sikapi secara
kritis. Kita dapat melihat dari berbagai sisi, banyak sekali hal-hal yang
berkaitan dengan ajang tersebut yang bertentangan dengan kearifan lokal
maupun secara prinsip kemanusiaan yang sifatnya asasi.
Dimulai dari latar belakang sejarah munculnya acara ini
adalah untuk kegiatan komersial dimana salah satu perusahaan bikini ini
mempromosikan produk pakaian renang dengan tajuk Festival Bikini Contest yang
dimotori oleh Eric Morley pada tahun 1951 di Inggris. Selanjutnya media
menyebut acara ini dengan sebutan `Miss World`. Dengan menampilkan perempuan-perempuan
yang mengenakan bikini sebagai salah satu sesi yang wajib dilalui dalam kontes
ini.
Pada awal-awal publikasi kegiatan ini sudah mendapat
perlawanan dari kaum feminis dalam aksi demonstrasi penentangan penyelenggaraan
acara tersebut. Kemudian Morley mengemas dan memunculkan slogan baru Beauty
With Purpose. Melihat latar belakang tersebut
bisa kita tinjau bahwanya pesan komersialisasi adalah yang utama dari kegiatan
ini. Kekeliruan yang terjadi adalah ketika perempuan menjadi objek komoditas
yang dipertontonkan. Sejatinya perempuan sebagai seorang manusia yang dengan
segala kekhasan penciptaan atas dirinya secara artifisial tidak patut dijadikan
objek ajang kompetisi.
Akan tetapi dengan mempertontonkan citra perempuan secara
fisik, maka secara langsung telah merendahkan martabat perempuan sebagai
manusia yang harus dihargai dan diperlakukan sama. Melakukan penilaian dan
kompetisi terhadap citra fisik perempuan sama halnya dengan
membanding-bandingkan penciptaan perempuan sebagai sosok yang terlahir dengan
citra fisik unik.
Oleh sebab itu, secara prinsip manusia tidak memiliki
otoritas melakukannya. Mari kita lihat analogi di dalam keluarga, antara satu
anak dengan anak lain tentu tidak akan bisa menerima apabila orang tua
membanding-bandingkan mereka. Atau misalnya di dalam masyarakat adalah tidak
dibenarkan apabila kita memandang orang yang berkebutuhan khusus, cacat fisik
dan lain sebagainya dibanding-bandingkan dengan yang terlahir secara normal dan
menganggap yang satu lebih baik dari yang lain.
Selain itu penilaian terhadap citra fisik perempuan tentu
akan menyinggung isu SARA. Penilaian kecantikan fisik tidak memiliki standar
mutlak sehingga hal itu berpotensi menimbulkan kesenjangan di antara perempuan.
Definisi cantik bukanlah milik juri atau penyelenggara acara serupa. Karena
manusia di dunia berasal dari rumpun ras yang berbeda,dengankeunikan
masing-masing yang harus dihormati.
Kecantikan bukanlah sesuatu yang bisa dipertontonkan dan diperlombakan apalagi menjadi alat komersialisasi. Faham materialisme telah menggeser keberadaan manusia dengan mengagungkan penampilan fisik sebagai kelebihan atau kekurangan seseorang atas orang lain untuk dihargai. Masyarakat dibentuk paradigmanya tentang definisi cantik yang sangat artifisial. Berat badan, tinggi badan, dan semua skala fisik yang ditentukan oleh segelintir orang bagaimana mungkin bisa disepakati sebagai standar yang bisa diterima global.
Kecantikan bukanlah sesuatu yang bisa dipertontonkan dan diperlombakan apalagi menjadi alat komersialisasi. Faham materialisme telah menggeser keberadaan manusia dengan mengagungkan penampilan fisik sebagai kelebihan atau kekurangan seseorang atas orang lain untuk dihargai. Masyarakat dibentuk paradigmanya tentang definisi cantik yang sangat artifisial. Berat badan, tinggi badan, dan semua skala fisik yang ditentukan oleh segelintir orang bagaimana mungkin bisa disepakati sebagai standar yang bisa diterima global.
Negara Indonesia memiliki slogan Bhinneka Tunggal Ika. Oleh
karena itu, penyelenggaraan Miss World yang memposisikan perempuan
dinilai dan dihargai berdasarkan citra fisik mereka telah mengkhianati prinsip
kebhinekaan yang merupakan kearifan budaya bangsa. Keanekaragaman etnis dan
entitas budayanya adalah sesuatu yang tidak mungkin dipertentangkan dan diadu.
Sementara ajang Miss World telah menyebabkan kesenjangan dalam menjaga keutuhan
pemahaman terhadap keragaman khasanah budaya bangsa.
Apalagi kalau kita melihat dari nilai-nilai agama, tentu
kalau kita merujuk pada referensi kitab suci yang menjadi pedoman agama akan
kita dapatkan bahwa ajang Miss World adalah suatu yang tidak bisa dibenarkan
karena akan bertentangan dengan hakikatnya sebagai makhluk yang diciptakan
sempurna. Secara khusus penulis mengambil contoh dalam agama Islam.
Dalam Islam tidak boleh seorang perempuan direndahkan dengan
menjadikannya alat promosi dengan menampilkan keindahan fisiknya untuk
mempengaruhi penilaian pasar. Tidak juga dibenarkan seorang perempuan menjadi
pusat perhatian khalayak publik yang tidak berhak memandangnya. Hal itu akan
merendahkan martabat perempuan. Itulah sebabnya Islam sangat menjaga martabat
perempuan dari penilaian-penilaian subjektif terhadap pencipataan fisik yang
sejatinya unik dengan keistimewaan masing-masing.
Belum lagi pelecehan yang dilarang di dalam Islam ketika perempuan dikondisikan membuka auratnya, dipertontonkan dan dinilai adalah hal yang sangat memalukan. Islam mengajarkan perempuan untuk menutupi dan menjaga auratnya. Maka penampilan Miss Word akan menimbulkan kesenjangan dalam upanya penanaman nilai-nilai agama yang ditanamkan ke generasi muda. Permisifnya masyarakat terhadap pengaruh buruk suatu budaya akan berdampak pada pembentukan paradigma baru generasi muda yang lebih permisif.
Belum lagi pelecehan yang dilarang di dalam Islam ketika perempuan dikondisikan membuka auratnya, dipertontonkan dan dinilai adalah hal yang sangat memalukan. Islam mengajarkan perempuan untuk menutupi dan menjaga auratnya. Maka penampilan Miss Word akan menimbulkan kesenjangan dalam upanya penanaman nilai-nilai agama yang ditanamkan ke generasi muda. Permisifnya masyarakat terhadap pengaruh buruk suatu budaya akan berdampak pada pembentukan paradigma baru generasi muda yang lebih permisif.
Penyelenggaraan ajang Miss Word meninjau pelaksanaan yang
sudah pernah dilakukan tidak lepas dari sesi-sesi yang sarat pornografi dan
pornoaksi. Hal ini tentu akan melanggar aturan yang berlaku di negara kita
sebagaimana di atur oleh UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Sebagaimana
pasal 4 dalam UU Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi tersebut adalah
dilarang mempublikasikan segala sesuatu yang menampilkan ketelanjangan atau
tampilan yang mengesankan ketelanjangan.
Melihat aspek norma kesopanan dan budaya timur yang dianut oleh Indonesia adalah tidak pantas menampilkan ketelanjangan yang dikemas dalam acara kompetisi seperti yang dikemukakan di atas. Sesi penilaian menggunakan bikini misalnya sebagaimana dilakukan pada kompetisi ini di penyelenggaraan yang telah lalu, adalah bertentangan dengan norma yang berlaku di negeri ini.
Melihat aspek norma kesopanan dan budaya timur yang dianut oleh Indonesia adalah tidak pantas menampilkan ketelanjangan yang dikemas dalam acara kompetisi seperti yang dikemukakan di atas. Sesi penilaian menggunakan bikini misalnya sebagaimana dilakukan pada kompetisi ini di penyelenggaraan yang telah lalu, adalah bertentangan dengan norma yang berlaku di negeri ini.
Dan yang perlu dicermati pula adalah efek jangka panjang yang
akan melanda bangsa ini. Generasi muda yang menyerap pengaruh budaya yang masuk
akan menjadi sasaran terutama kaum hawa. Perempuan diajak menuhankan kecantikan
dan dibuat frustasi untuk tampil cantik secara artifisial disebabkan informasi
yang keliru yang telah dikampanyekan oleh kegiatan ini. Dilihat dari sisi
manfaat dan kualitas perempuan, ternyata secara signifikan tidak berarti
apa-apa.
Kegiatan
ini secara politis sendiri tidak mampu menampilkan sosok perempuan yang mumpuni
terjun mengatasi persoalan bangsa dan kemanusiaan. Lagi-lagi perempuan
hanya dipasang sebagai pemanis, atau pada umumnya lebih banyak dari mantan
peserta kontes kecantikan serupa itu menjadi penghias layar kaca sebagai bagian
dari entertainment menjadi selebritas.
Menyimpulkan bawha atas penyelenggaraan pemilihan Miss World
tidak layak diselenggarakan dan diikuti. Apalagi menjadikan rumah kita
“Indonesia” sebagai tuan rumah penyelenggaraan Miss World, sama saja
merendahkan martabat bangsa. Kita sebagai bagian dari Indonesia berhak menolak
sesuatu yang bertentangan dan berpotensi merusak nilai-nilai karifan budaya
bangsa. Dan kepada penyelenggara semestinya memperhatikn apa yang
disuarakan oleh elemen masyarakat Indonesia. Bersikap membiarkan terhadap
segala potensi yang merusak bangsa adalah sama seperti tindakan meruska itu
sendiri.
Referensi : http://nasional.kompas.com/read/2013/09/07/2146424/Pemerintah.Klaim.Dampak.Positif.Jadi.Tuan.Rumah.Miss.World.
http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/13/09/02/mshg91-mengapa-menolak-miss-world
http://www.mypopzone.com/2012/12/miss-world-dari-masa-ke-masa.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar